Biografi Syahid Hasan Al Banna

Biografi Syahid Hasan Al BannaArtikelSelintas Tentang Imam Syahid Hasan Al Banna
Written by Tomy Ismail
Kamis, 20 April 2006
Selintas Tentang Imam Syahid Hasan Al Banna

Kelahiran Imam Al-Banna
Imam Asy-Syahid Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna lahir pada Ahad, 25 Sya’ban 1324 Hijriah, yang bertepatan dengan 14 Oktober 1906 di daerah Dhuha di Mahmudiyah, sebuah kawasan dekat Iskandariyah, tepatnya di kota Buhairah, Mesir. Beliau adalah anak sulung dari kedua orang tua yang berkebangsaan Mesir, tepatnya dari daerah Syamsirah Bindarfuh di wilayah Mudiriah Barat dahulu, atau yang sekarang dikenal dengan Kota Kafr Asy-Syaikh.

Beliau adalah anak sulung dari Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna yang terkenal dengan gelar As-Sa’atiy, lantaran profesinya sebagai tukang reparasi jam. Syaikh Ahmad adalah seorang ulama hadits, beliau menyusun sanad-sanad Imam Empat (dalam bidang hadits) menurut urutan bab-bab Fiqh. Beliau memiliki sejumlah karya dalam bidang hadits, diantaranya adalah “Badai” Al-Minan fi Jam’I wa Tartib Musnad Asy-Syafi’I wa As-Sunan” dan beliau juga memberi komentar atas Musnad Imam Ahmad bin Hambal yang diberi nama “Syarh Bulugh Al-Amani min Asrar Al-Fath Ar-Rabani”. Beliau mengakui dirinya termasuk murid dari Imam Muhammad Abduh.

Ibunda Imam Al-Banna adalah seorang perempuan terhormat bernama Ummu Sa’ad Ibrahim Shaqar. Ayahandanya adalah seorang pedagang binatang ternak di Desa Syamsirah, termasuk wilayah Mahmudiyah, di tepi kedua sungai Nil, desa yang sama dengan tempat tinggal ayah Imam Al-Banna.



Ibunya adalah seorang wanita yang cerdas, pemimpin, punya wawasan tentang masa depan. Di sisi lain, ibunya juga mempunyai sifat yang sangat dominan, yaitu keras kepala. Jika ia mengambil suatu keputusan, maka susah baginya untuk menarik kembali keputusan itu. Sifat inilah yang menurun kepada– Imam Al-Banna – anak sulungnya, begitu pula dengan kerupawanan wajahnya. Namun, sifat keras kepala ini kemudian menjelma menjadi sifat keras lainnya, yaitu keras kemauan dan bertekad baja, dan sifat ini hanya menurun kepadanya dan saudara kandungnya, Abdul Basith rahimahullah.



Sedangkan saudara-saudara Hasan Al-Banna, yang pertama adalah Abdurrahman, pendiri kelompok Al-Hadharah Al-Islamiyah di Kairo, yang bergabung dengan Al-Ikhwan ketika Imam Hasan Al-Banna pindah ke Kairo dan ia menjadi salah seorang anggota Ikhwan yang menonjol. Kedua, Fatimah (istri Al-Ustadz Abdul Hakim ‘Abidin). Ketiga, Muhammad yang wafat di bulan Maret 1990 M atau bulan Sya’ban 1410 Hijriah. Keempat, Abdul Basith, ia adalah seorang polisi yang setia menemani Imam Hasan Al-Banna sebelum terjadinya pembunuhan. Kelima, Zainab yang sampai wafatnya masih dalam keadaan perawan. Keenam, Al-Ustadz Ahmad Jamaluddin (ia adalah seorang penulis dan pengarang buku yang terkenal dengan nama Jamal Al-Banna). Ketujuh, Fauziah (istri Al-Ustadz Abdul Karim Manshur, seorang pengacara yang menemani Imam Hasan Al-Banna di malam syahidnya hingga peluru-peluru yang mematikan menembusnya).



Pembentukan wawasan keilmuan Imam Hasan Al-Banna melalui pendidikan formalnya di Madrasah Ar-Rasyad lalu Madrasah I’dadiyah, Madrasah Mu’allimin Awwaliyah dan di Universitas Daul Ulum. Imam Hasan Al-Banna menyelesaikan kuliahnya di Darul Ulum, Kairo. Beliau menggeluti profesi sebagai guru di sekolah dasar. Dalam pada itu beliau sempat berpindah dari satu kota ke kota lain. Namun profesi yang sesungguhnya adalah menyeru umat agar mengamalkan Al Qur’an dan berpegang teguh kepada Sunnah Nabi yang agung, Muhammad SAW. Lewat tangan beliau Allah SWT telah berkenan memberi petunjuk kepada puluhan ribu mahasiswa, buruh, petani, pedagang dan berbagai golongan masyarakat yang lain.



Untuk beberapa waktu lamanya beliau menetap di Ismailiyah, kota di mana beliau mendirikan kantor pertama Ikhwanul Muslimin bersama beberapa pengikutnya. Beliau kemudian menyebarkan dakwahnya secara luas melalui serangkaian ceramah dan penerbitan. Tuntutan dakwah selanjutnya mendorong beliau mengunjungi semua kota dan desa yang bisa didatangi untuk menyampaikan dakwahnya. Kerja keras itu akhirnya memang membuahkan hasil yang gemilang. Dalam waktu yang relatif singkat, gerakan dakwah beliau telah memiliki cabang di hampir seluruh penjuru Mesir. Dakwah beliau tidak terbatas pada kaum pria saja, tetapi juga menyentuh kalangan wanita. Bahkan di Ismailiyah beliau mendirikan ‘Ma’had Ummahatul Muslimin’ sebagai tempat pendidikan Islam khusus bagi para muslimah.



Beberapa waktu kemudian beliau dipindahkan ke Kairo, maka kantor pusat dan kediaman pemimpin Ikwhanul Muslimin pun berpindah. Di tengah ibu kota Mesir ini, dakwah beliau cepat tersebar secara luas. Dakwahnya tampak begitu terang, seterang mentari yang terbit di pagi hari. Dalam tempo yang relatif singkat, jumlah anggota Ikhwanul Muslimin telah mencapai angka setengah juta orang.



Para penguasa kala itu yang nota bene merupakan boneka-boneka Inggris segara merasakan perkembangan seperti ini sebagai ancaman besar. Mereka berusaha keras menjauhkan Imam Syahid Hasan Al-Banna dari kancah politik. Namun, upaya itu tak pernah bisa menghentikan tekad dan langkah beliau. Lihatlah, bagaimana beliau dengan gagah memperkenalkan Islam sebagai akidah dan ibadah, tanah air dan kebangsaan, kelembutan dan kekuatan, moral dan budaya, serta hukum.



Di kota Kairo ini pula beliau mendirikan harian Ikwhanul Muslimin sebagai mimbar bagi tulisan-tulisan beliau, di samping mimbar-mimbar ceramahnya.



Ketika terjadi tragedi Palestina, beliau segera mengirimkan pasukan Ikhwanul Muslimin ke sana. Sungguh, sejarah telah menjadi saksi betapa tegar dan bersemangatnya pasukan sukarelawan itu. Mereka bahkan telah berhasil menyerang jantung pertahanan Israel saampai ke ambang pintu Tel Aviv. Akan tetapi, sebuah tragedi yang lebih besar dan memilikukan terjadi saat itu : Raja Farouq menandatangani perjanjian damai dengan Israel serta menangkapi seluruh pemimpin dan pasukan Ikhwanul Muslimin.



Cerita belum selesai sampai disini. Kaum imperialis beserta bonkea-boneka mereka selanjutnya menyusun sebuah konspirasi besar untuk membunuh Hasan Al-Banna.



Di tengah hiruk pikuk kota Kairo, tepatnya di depan kantor pusat organisasi “Asy-Syubbanul Muslimun”, sekelompok orang yang tidak dikenal memuntahkan peluru-peluru makar mereka, setelah itu mereka berlari menghilang. Dengan tenaga yang masih tersisa beliau membopong tubuhnya ke rumah sakit, namun tak seorang dokter pun yang bersedia menangani luka parah beliau. Mereka sengaja membiarkannya tersungkur di tengah lumuran darah yang mengucur tiada henti. Tak satu pun nurani yang tersentuh, tak satu pun mata yang menangis. Mereka bahkan menghalangi para pengikut beliau yang ingin menjenguknya.



Pada waktu itu tahun 1949, dua jam setelah penembakan, beliau menghembuskan nafas yang terakhir dan gugur syahid di jalan Allah SWT.



Beliau telah mewariskan sejumlah karya yang amat cemerlang, dua diantaranya adalah : Mudzakiraat Ad-Dakwah wa Da’iyah (Catatan Harian Dakwah dan Sang Da’i) dan Majmuatur Rasail (Kumpulan surat-surat).

Komentar